Ketika Pengadaan Tablet DPRD Sumenep Digiring Kepada Pemakluman, Akal Sehat Terpaksa Hidup-hidup Dipendam

Ketika Pengadaan Tablet DPRD Sumenep Digiring Kepada Pemakluman, Akal Sehat Terpaksa Hidup-hidup Dipendam

Setelah audiensi antara PMII Uniba dan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Sumenep usai, kisah tentang anggaran pengadaan tablet seolah berhenti di ruang diskusi itu saja. Tak ada riak lanjutan, tak ada kegaduhan berarti, dan perlahan isu ini seperti dimaklumi sebagai sesuatu yang wajar. Padahal, justru di titik inilah keganjilan itu bermula: ketika kebijakan publik yang menyentuh uang rakyat diterima tanpa rasa curiga, tanpa desakan untuk benar-benar diuji kewajarannya.

Seolah tidak ada lagi panduan tentang batas kepatutan dalam membelanjakan anggaran daerah. Semua bisa dibeli, asal tersedia uang dan payung anggarannya sah. Soal manfaat, urgensi, dan dampak nyata bagi publik, itu bisa menyusul belakangan—atau bahkan tak perlu dibahas sama sekali. Tablet pun hadir sebagai simbol paling mutakhir dari logika semacam ini: benda modern, mahal, namun manfaatnya tak pernah dijelaskan secara terang kepada rakyat yang membiayainya.

Kekhawatiran publik tentu beralasan. Anggaran daerah bukan angka abstrak di atas kertas, melainkan hasil dari jerih payah warga Sumenep yang membayar pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lain. Ketika uang itu digunakan untuk sesuatu yang manfaatnya samar, kecurigaan akan penyalahgunaan kewenangan menjadi sulit dihindari. Bukan semata soal ada atau tidaknya pelanggaran hukum, tetapi soal etika dan tanggung jawab moral para pengelola anggaran.

Dalam diskusi dengan mahasiswa, wajah Sekwan terlihat tenang. Tak ada gestur penyesalan, tak ada kegamangan. Ia hanya menjelaskan alur penganggaran tablet tersebut, seolah itu sudah cukup untuk mengakhiri perdebatan. Dalam sudut pandangnya, tak ada yang salah. Anggaran itu tercantum dalam APBD Perubahan 2025, disepakati bersama, dan ia hanya menjalankan tugas administratif. Secara prosedural, argumen ini memang sulit dibantah.

Namun, persoalan publik tidak selalu berhenti pada soal prosedur. Bisa saja sebuah kebijakan sah secara hukum, tetapi tetap problematik secara moral dan logika publik. Ketika Sekwan berlindung di balik kalimat “saya hanya melaksanakan anggaran”, maka yang hilang adalah keberanian untuk menguji kembali: apakah anggaran itu sejak awal layak ada, apakah ia menjawab kebutuhan mendesak masyarakat, dan apakah ia selaras dengan kondisi sosial ekonomi daerah.

Jika alasan yang dibangun adalah bahwa tablet itu dikehendaki oleh anggota DPRD untuk meringankan beban tugas mereka. Pernyataan ini sekilas terdengar masuk akal. Di era digital, perangkat teknologi memang dapat menunjang kerja. Tetapi publik berhak bertanya lebih jauh: beban tugas yang mana yang dimaksud? Bukankah selama ini fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran tetap berjalan tanpa tablet pribadi bernilai tinggi? Jika teknologi dianggap solusi, mengapa tidak dijelaskan secara rinci skema penggunaannya, indikator kinerjanya, serta dampak konkret yang diharapkan?

Di sinilah pertanyaan soal output menjadi krusial. Setiap perencanaan anggaran seharusnya memiliki tujuan yang terukur. Tablet itu digunakan untuk apa? Apakah untuk mengakses dokumen sidang, menyerap aspirasi masyarakat, atau sekadar menggantikan kertas yang selama ini dipakai? Jika demikian, apakah nanti akan terjadi penghematan dan efisiensi yang sebanding dengan biaya yang dikeluarkan? Tanpa jawaban yang jelas, tablet hanya menjadi simbol kemewahan birokrasi yang terputus dari realitas rakyat.

Secara teoritis, parlemen adalah ruang bicara. Rocky Gerung pernah mengingatkan bahwa kata “parlemen” berasal dari bahasa Prancis "parler", yang berarti berbicara. Inti kerja wakil rakyat adalah dialog, perdebatan, dan adu gagasan demi kepentingan publik. Tablet, secanggih apa pun, tidak otomatis meningkatkan kualitas berbicara, apalagi kualitas berpikir. Tanpa integritas dan keberpihakan pada rakyat, teknologi hanya menjadi aksesoris mahal.

Ironisnya, meski badai kritik menghadang, tablet itu tetap harus dibeli. Seolah DPRD Sumenep akan lumpuh tanpa benda persegi empat tersebut. Seolah kesejahteraan masyarakat Sumenep bergantung pada apakah tablet itu sampai ke tangan para wakilnya atau tidak. Logika semacam ini terasa berlebihan, bahkan cenderung meremehkan kecerdasan publik.

Pada akhirnya, rakyat seperti dipaksa untuk mengerti dan memaklumi. Dipaksa menerima bahwa kebijakan ini sudah terlanjur diambil dan tak perlu lagi dipersoalkan. Rakyat diminta diam, tidak protes, tidak menuntut. Dalihnya klasik: mereka yang duduk di kursi DPRD adalah hasil pilihan rakyat sendiri. Jika kecewa, tunggu pemilu berikutnya dan jangan salah pilih lagi.

Namun demokrasi tidak bekerja sesederhana itu. Kritik bukanlah pengkhianatan terhadap pilihan politik, melainkan bentuk tanggung jawab warga negara. Jika hari ini publik diam atas pembelian tablet yang manfaatnya tak jelas, bukan tidak mungkin esok hari akan muncul pemborosan lain yang lebih besar. Maka, yang seharusnya dikoreksi bukan hanya anggarannya, tetapi cara berpikir para pengelola kekuasaan: bahwa setiap rupiah uang rakyat harus bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan aturan, tetapi juga di hadapan akal sehat publik.

(*)

Post a Comment

0 Comments

close