Baca Juga
- Google bermitra dengan startup Energy Dome asal Italia mengembangkan baterai udara berbasis karbon dioksida.
- Teknologi ini akan diterapkan untuk penyimpanan listrik di pusat data Google di berbagai kawasan dunia.
- Baterai CO2 diklaim mampu menyimpan energi skala besar tanpa bergantung pada mineral tanah jarang.
IndoTech.eu.org - Google kembali memperkenalkan terobosan teknologi energi bersih melalui pengembangan baterai baru yang tidak memerlukan lithium maupun nikel. Perusahaan teknologi raksasa itu memilih pendekatan berbeda lewat baterai “udara” yang memanfaatkan karbon dioksida sebagai media penyimpanan energi, sebuah inovasi yang digadang-gadang dapat mendukung operasional pusat data mereka secara berkelanjutan.
Inisiatif ini diumumkan setelah Google menjalin kerja sama strategis dengan Energy Dome, sebuah perusahaan rintisan asal Milan, Italia. Informasi tersebut diungkap dalam laporan IEEE Spectrum yang dikutip Futurism. Melalui kemitraan ini, Google berencana membangun fasilitas penyimpanan listrik berbasis teknologi CO2 di pusat data utama mereka yang tersebar di Eropa, Amerika Serikat, hingga kawasan Asia Pasifik.
Energy Dome mengembangkan sistem penyimpanan energi berupa kubah raksasa yang diisi gas karbon dioksida terkompresi. Konsep tersebut bekerja layaknya baterai, namun tidak menggunakan material logam seperti pada baterai konvensional. Gas CO2 dikompresi saat terjadi kelebihan pasokan listrik dari pembangkit energi terbarukan, kemudian disimpan hingga energi tersebut dibutuhkan kembali.
Saat fase penyimpanan, energi panas dimanfaatkan untuk mendinginkan karbon dioksida hingga mencapai suhu ruang. Gas tersebut lalu dikondensasikan menjadi cairan melalui proses yang berlangsung sekitar 10 jam. Ketika listrik diperlukan, CO2 cair diubah kembali menjadi gas, dihangatkan, dan digunakan untuk memutar turbin guna menghasilkan listrik.
Energy Dome mengklaim satu fasilitasnya mampu menyimpan energi hingga 200 megawatt hour (MWh), cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar 6.000 rumah. Skala ini dinilai relevan untuk menjawab tantangan fluktuasi produksi listrik dari sumber terbarukan yang sangat bergantung pada matahari dan angin.
Teknologi penyimpanan ini diharapkan menjadi solusi penyeimbang ketika produksi listrik melimpah namun tidak seluruhnya terserap jaringan. Energi yang tersimpan dapat digunakan kembali pada periode beban tinggi atau saat pasokan energi terbarukan menurun.
Saat ini, Energy Dome tengah membangun fasilitas percontohan di lahan seluas lima hektare di Sardinia, Italia. Apabila proyek tersebut berhasil, perusahaan berencana memperluas pembangunan fasilitas serupa ke berbagai negara lain, termasuk India dan Amerika Serikat.
Google menilai pendekatan yang ditawarkan Energy Dome sesuai dengan kebutuhan jangka panjang mereka. Ainhoa Anda dari Google menyebut teknologi ini fleksibel dan dapat diterapkan pada berbagai jenis pembangkit listrik.
"Standardisasi sangat penting, ini adalah aspek yang kami sukai. Mereka benar-benar bisa menggunakannya secara plug and play," katanya.
Dalam implementasinya, Google akan memprioritaskan lokasi pusat data yang telah terhubung ke jaringan listrik dan memiliki surplus energi terbarukan. Dari lokasi tersebut, pusat data dapat langsung memanfaatkan listrik yang disimpan dalam baterai CO2.
Keunggulan lain dari solusi ini adalah tidak diperlukannya bahan baku tambahan, khususnya mineral tanah jarang yang selama ini menjadi komponen utama baterai modern. Meski demikian, teknologi baterai CO2 masih memiliki catatan, terutama terkait potensi emisi yang lebih besar dibanding baterai lithium serta risiko kebocoran karbon dioksida ke atmosfer.
(*)

