Rapat Paripurna DPRD Hari Jadi Kabupaten Sumenep ke-756: Simbol Gaya Hidup Elit yang Tidak Mencerminkan Kebersamaan
Hari Jadi ke-756 Sumenep seharusnya menjadi momentum refleksi bagi para pemimpin daerah. Sebuah ruang untuk mengenang jasa para pendiri yang membangun Sumenep dengan darah, keringat, dan keikhlasan.
Namun, apa jadinya bila rapat paripurna DPRD Sumenep yang seharusnya menjadi simbol penghormatan sejarah justru berubah menjadi ajang mempertontonkan gaya hidup elit dan kemewahan yang kontras dengan kondisi rakyat Sumenep?
Di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, pesta-pesta seremonial yang berlebihan terasa mencolok. Rapat Paripurna Hari Jadi ke-756 Sumenep menjadi contoh nyata bagaimana lembaga yang seharusnya menjadi wakil rakyat malah memperlihatkan wajah konsumtif yang jauh dari semangat hidup sederhana. Gedung megah, dekorasi berlebihan, pakaian adat penuh hiasan, dan sajian makanan mewah menjadi pemandangan yang ironis.
Padahal, perayaan seperti ini mestinya menjadi momen untuk menunjukkan empati, kesederhanaan, dan kedekatan dengan rakyat. Tetapi yang terlihat justru sebaliknya: DPRD Sumenep dan para pejabat daerah tampil seolah berada di pesta istana. Makanan dihidangkan seperti jamuan bangsawan, lengkap dengan lauk-pauk mewah, prasmanan berlimpah, dan tas suvenir berlogo hari jadi yang tak ubahnya cendera mata pesta eksklusif.
Di balik senyum-senyum dan foto-foto di media sosial, rakyat hanya bisa menonton dari jauh. Mereka yang hidup dengan harga sembako yang naik, yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, tentu sulit merasakan makna kebersamaan yang sering digaungkan dalam pidato-pidato seremonial. Di sini, terlihat jelas jurang antara “rakyat” dan “wakil rakyat”.
Budaya konsumtif DPRD Sumenep ini tidak hanya soal anggaran, tapi juga mencerminkan mentalitas birokrasi yang kehilangan arah moral. Rapat paripurna yang seharusnya menjadi forum politik bermartabat, kini lebih menyerupai pesta tahunan yang kehilangan esensi. Bahkan, jika ditanya, apa output konkret dari acara seperti itu? Mungkin hanya dokumentasi dan berita seremonial yang hilang sehari kemudian.
Masyarakat tentu tak anti terhadap perayaan. Hari jadi daerah penting untuk dirayakan, sebagai simbol kebanggaan dan persatuan. Namun, yang patut dikritisi adalah bentuk perayaannya: apakah mencerminkan nilai perjuangan para leluhur yang hidup sederhana, atau justru menjauh dari semangat itu dengan kemewahan yang tidak perlu?
Kesederhanaan bukan sekadar gaya hidup, tapi cermin integritas dan kepekaan sosial. Para pejabat publik di DPRD Sumenep harusnya paham bahwa gaya hidup mereka dilihat, ditiru, bahkan dijadikan ukuran moral oleh masyarakat. Jika yang mereka tunjukkan adalah pesta dan kemewahan, bagaimana mungkin rakyat percaya bahwa mereka sedang memperjuangkan keadilan sosial?
Bupati Sumenep dalam berbagai kesempatan sering menyerukan semangat kebersamaan. Tapi kebersamaan tidak bisa tumbuh di tengah ketimpangan. Keadilan rasa—yakni kesetaraan dalam menikmati hasil pembangunan—tidak akan pernah hadir jika elit politik masih asyik dalam zona nyaman pesta-pesta protokoler.
Sudah saatnya DPRD Sumenep melakukan introspeksi. Hari Jadi ke-756 ini harusnya menjadi momentum untuk menata ulang arah moral lembaga wakil rakyat. Perayaan sederhana, hemat anggaran, dan penuh makna jauh lebih terhormat ketimbang kemewahan sesaat yang tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat.
Kesederhanaan bukan tanda kemiskinan, tetapi simbol kedewasaan dan ketulusan dalam melayani. Jika DPRD Sumenep benar-benar ingin dihormati, bukan ditertawakan, maka berhentilah memanjakan diri di atas penderitaan rakyat. Mulailah dengan hal kecil: rapat paripurna tanpa pesta, tanpa konsumsi berlebihan, tanpa glamoritas.
Karena pada akhirnya, yang akan diingat rakyat bukan seberapa mewah pesta Hari Jadi ke-756 Sumenep, melainkan seberapa tulus para pemimpinnya hidup sederhana dan bekerja untuk kesejahteraan bersama.
(*)
 
Sudah saatnya DPRD Sumenep melakukan introspeksi. Hari Jadi ke-756 ini harusnya menjadi momentum untuk menata ulang arah moral lembaga wakil rakyat. Perayaan sederhana, hemat anggaran, dan penuh makna jauh lebih terhormat ketimbang kemewahan sesaat yang tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat.
Kesederhanaan bukan tanda kemiskinan, tetapi simbol kedewasaan dan ketulusan dalam melayani. Jika DPRD Sumenep benar-benar ingin dihormati, bukan ditertawakan, maka berhentilah memanjakan diri di atas penderitaan rakyat. Mulailah dengan hal kecil: rapat paripurna tanpa pesta, tanpa konsumsi berlebihan, tanpa glamoritas.
Karena pada akhirnya, yang akan diingat rakyat bukan seberapa mewah pesta Hari Jadi ke-756 Sumenep, melainkan seberapa tulus para pemimpinnya hidup sederhana dan bekerja untuk kesejahteraan bersama.
(*)
